Pernahkah kalian tahu ada mamalia bertelur di Indonesia? Apakah ada satwa yang mirip dengan Platypus di Indonesia? Jawabannya ada.
Ekidna moncong-pendek merupakan mamalia dalam keluarga monotremata (mamalia bertelur). Satwa ini merupakan mamalia primitif yang masih bereproduksi dengan bertelur (ovovivipar). Ketika menetaskan anaknya seperti pada umumnya anak mamalia.
Di Indonesia, satwa ini hanya ada di Kabupaten Jayapura tepatnya di kaki Gunung Cyclops. Ekidna juga biasa disebut nokdiak.
Di tempat asalnya, satwa ini masyarakat hormati seperti raja. Masyarakat Kampung Ormu Wari, Distrik Raveni Rara, Kabupaten Jayapura, di kaki Gunung Cyclops menganggap keramat satwa ini.
Morfologi
Sekilas satwa ini mirip dengan landak mini, karena duri memenuhi sebagian besar tubuhnya. Duri pada tubuhnya merupakan bentuk nyata evolusi dari rambut pada mamalia. Panjang dari durinya mulai dari 50 mm dengan beberapa warna yang bervariasi, kuning kecokelatan, cokelat kemerahan hingga hitam.
Ekidna moncong-pendek memiliki nama latin Tachyglossus aculeatus. Hal ini tercermin lewat ciri khasnya yaitu tachyglossus yang berarti lidah cepat dan aculeatus yang berarti dilengkapi oleh duri.
Duri tidak menutupi bagian wajah, kaki dan tangannya. Di bagian tersebut hanya terdapat rambut berwarna cokelat kemerahan. Karena wajah dari satwa ini sangat imut, jadi mulut dari Nokdiak tidak bisa membuka lebih dari 5 mm, dan diameternya hanya 9 mm.
Nokdiak tidak besar, jika berukuran 30 – 45 cm bobotnya hanya sekitar 2-7 kg. Tetapi Ekidna memiliki moncong yang panjang sekitar 75 mm berbentuk pipi. Selain itu Ekidna moncong-pendek memiliki kerabat yaitu Ekidna moncong-panjang.
Di bagian kaki belakang, cakar nokdiak yang melengkung membantu mereka menggali. Selain itu dapat membantu melindungi diri dari bahaya karena mereka dapat menggali jalan untuk keluar dari tanah.
Reproduksi dan Perilaku
Untuk bereproduksi, satwa ini kawin dari pertengahan Mei hingga awal September. Ekidna jantan aktif mencari betina untuk kawin. Mereka membentuk barisan dengan sebutan ‘kereta nokdiak”. Betina memimpin ‘kereta’, lalu sepuluh jantan mengikutinya. Bahkan jantan yang lebih muda sering berada di barisan paling belakang.
Sebulan setelah kawin, betina memasukan satu telur bercangkang lunak ke dalam kantongnya. Masa kehamilannya terbilang cepat. Kurun waktu 10 hari bayi nokdiak menetas.
Bayi nokdiak biasa disebut ‘puggle’. Mereka tinggal di sarang yang induknya buat hingga satu tahun sebelum mereka dapat membuatnya sendiri.
Habitat dan Pakan
Nokdiak suka mendiami semak belukar, gurun dan hutan pegunungan. Menggali makanan dan tempat berlindung adalah kunci hidupnya.
Lubang hidung di ujung paruhnya membuat nokdiak mampu mengendus makanan berikutnya. Moncongnya yang kenyal juga peka terhadap sinyal listrik dari tubuh serangga. Cukup kuat untuk membuka batang kayu berlubang dan membajak lantai hutan untuk mencari serangga.
Nokdiak merupakan mamalia yang tidak memiliki gigi sama seperti tringiling. Tetapi nokdiak dapat menggunakan lidah mereka yang panjang dan lengket. Gerakan lidahnya sangat cepat. Hal ini memungkinan mereka cepat pula menyeruput semut, cacing dan larva serangga.
Ancaman dan Perlindungan
Perburuan yang tinggi di Tanah Papua masih menjadi ancaman paling tinggi nokdiak di habitat aslinya. Banyak masyarakat yang memburu untuk menjadikan nokdiak bahan makanan. Menurut masyarakat lokal, daging nokdiak memiliki rasa yang manis dan banyak peminatnya sehingga perburuan masih terjadi sampai hari ini.
Hal tersebut menjadikan nokdiak masuk dalam satwa dilindung berdasarkan Permen LHK (P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018). Nokdiak atau Ekidna merupakan satwa yang pemerintah lindungi. Menurut daftar merah The International Union for Conservation of Nature (IUCN), satwa ini masuk dalam kategori sedikit perhatian (Least Concern).
Penulis : Zenobia Anwar
Editor : Ari Rikin