Gajah sumatera menjadi spesies payung bagi habitatnya dan mewakili keanekaragaman hayati di dalam ekosistemnya. Gajah sangat berperan sebagai penyebar benih tumbuh tanaman atau pepohonan di dalam hutan.
Gajah memiliki daya jelajah hingga 170 kilometer perhari. Selain itu, satwa ini membuang kotoran hingga 18 kali sehari. Karena itulah, area hutan menjadi lebih subur karena persebaran kotorannya itu.
Hingga kini, hutan Indonesia merupakan rumah bagi mamalia besar ini bersama tiga spesies payung lainnya yakni orangutan, harimau dan badak. Saat ini di Indonesia terdapat dua sub spesies gajah, yakni Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan Gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis).
Morfologi dan Perilaku Gajah sumatera
Gajah sumatera memiliki tinggi badan sekitar 1,7-2,6 meter. Badannya lebih kecil dari Gajah Afrika. Keduanya memiliki perbedaan pada morfologi kepalanya dan bagian depan tubuhnya. Gajah sumatera memiliki tonjolan di bagian dorsal atau dahi.
Si jantan memiliki gading yang cantik sebagai senjata. Hidup berkelompok dengan satu betina tertua beserta anak-anaknya atau beberapa betina lainnya yang berkerabat.
Gajah sumatera jantan biasa meninggalkan kelompok jika hendak mencapai masa pubertasnya. Tetapi akan kembali berinteraksi dengan kelompok keluarga jika sedang mencari pasangan. Atau sedang memasuki tahap peningkatan hormon testosteron serta agresi.
Usia hidupnya bisa mencapai 70 tahun di alam bebas. Berkomunikasi melalui sentuhan, penglihatan, penciuman dan suara. Saat berkomunikasi seismik jarak jauh, gajah menggunakan infrasonik. Kecerdasannya pun lebih tinggi dibanding Primata dan Cetacea.
Ancamannya di Alam
Mendapat julukan Datuk, satwa ini memiliki ancaman yang sangat tinggi di alam. Dalam kurun waktu 25 tahun Gajah sumatera telah kehilangan sekitar 70 % habitatnya.
Tahun 2007 estimasi populasinya 2.400-2.800 individu. Populasinya pun terus menyusut drastis karena pembunuhan dan menyusutnya habitat. Kerusakan habitat ini memicu konflik dengan manusia di kawasan perbatasan. Perburuan liar dan perubahan iklim juga mengancam populasi gajah.
Perburuan liar ini untuk menjual gadingnya. Tingginya permintaan gading di pasar ilegal nasional dan internasional membuat gajah semakin terancam. Gading ini bisa menjadi ukiran dan aksesoris. Sejumlah masyarakat mempercayai, memiliki aksesoris dan ukiran gading gajah mengangkat derajat sosial. Kondisi ini bisa menjadi kendaraan tercepat Gajah sumatera menuju gerbang kepunahan.
Selain perburuan dan perdagangan secara ilegal, kondisi habitat Gajah sumatera juga memprihatinkan. Di Pulau Sumatra hanya tersisa 22 kantong populasi gajah. Populasi ini pun tergolong kritis di tengah ancaman perburuan, pagar listrik, jerat dan konflik.
Populasinya Terus Menurun
Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) menyebut tahun 2002-2007 di Provinsi Aceh ada 68 gajah mati. Sepanjang tahun 2011-2012 kematian Gajah sumatera mencapai 700 individu. Di Provinsi Riau, ratusan gajah mati atau hilang sejak tahun 2000 karena sering dianggap ‘hama’.
Dekatnya tempat aktivitas manusia dengan habitat gajah, membuat konflik antara manusia dengan gajah sumatera masih saja terjadi.
Mengutip dari berbagai sumber, jika konflik manusia dan gajah terus terjadi, perkiraanya satwa ini akan punah 30-40 tahun ke depan. Mitigasi perlu dengan memperhatikan keselamatan gajah dan manusia.
Gajah sumatra masuk kategori Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Sehingga tidak boleh ada aktivitas jual beli Gajah sumatera.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi juga melindungi gajah.
Aturan perlindungan lainnya juga sudah pemerintah keluarkan. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN) Gajah sumatera masuk ke dalam kategori critically endangered (CR).
Penulis : A. Zenobia Anwar
Editor : Ari Rikin