Enggang Cula, Burung Setia Sehidup Semati

Enggang Cula, Burung Setia Sehidup Semati

Hutan hujan Kalimantan menyimpan banyak kehidupan. Salah satunya kehidupan raksasa penguasa langit Kalimantan di kanopi hutan yang tinggi. Suara kepakan sayapnya berbunyi woosh woosh woosh.

Itulah Enggang cula (Buceros rhinoceros), salah satu burung terbesar di hutan hujan Asia. Mereka menghabiskan seluruh hidupnya di puncak kanopi.

Enggang cula memiliki kemampuan terbang dengan daya jelajah yang luas. Mereka memakan buah-buahan dalam jumlah banyak setiap harinya. Tak heran Enggang cula sering dikenal sebagai petani hutan yang andal.

Untuk mencari makan, mereka terbang di antara pohon-pohon yang sedang berbuah. Makanan utama Enggang cula adalah buah-buahan dan serangga. Akan tetapi tidak menutupi kemungkinan Enggang cula memilih reptil kecil, hewan pengerat dan burung yang lebih kecil sebagai pilihan makanannya.

Habitat aslinya yaitu hutan Kalimantan, Sumatra dan Jawa sangat membutuhkan keberadaan Enggang cula. Dengan adanya Enggang cula pemencaran biji dapat terjadi dan regenerasi hutan secara alami tetap terjaga.

Morfologi Enggang cula

Enggang cula merupakan satu dari 13 spesies Enggang cula yang ada di Indonesia. Mereka memiliki bulu hitam di sayap dan tubuhnya serta ekornya berwarna hitam dengan garis putih melintang. Enggang cula dapat tumbuh hingga 127 cm dengan berat sekitar 3 kg.

Memiliki tanduk kuning keemasan yang menonjol (casque), di bagian atas paruhnya. Casque memiliki struktur berongga yang terbuat dari keratin (sama seperti pada kuku manusia) dan berfungsi untuk memperkuat komunikasi dengan individu lainnya.

Enggang cula jantan dan betina memiliki morfologi yang sukar dibedakan. Akan tetapi Enggang cula jantan memiliki cincin oranye atau merah di sekitar matanya. Sedangkan pada betinanya memiliki cincin putih.

Paruh mereka adalah bentuk keindahan alam. Ringan dan serbaguna, paruhnya dapat melakukan berbagai pekerjaan seperti memanen, makan, membangun sarang dan menyegel sarang serta memberi makan betina dan anak-anaknya.

Reproduksi dan Habitatnya

Sama seperti satwa lainnya, ketika memasuki usia reproduksi, Enggang cula dewasa akan mencari pasangan. Mereka akan memiliki kebiasaan bersarang yang tidak seperti pada burung pada umumnya.

Pasangan Enggang cula membangun sarang di pohon tinggi berlubang. Kemudian menutup lubang tersebut dengan lumpur, kotoran atau sisa makanan, dengan betina di dalamnya.

Hanya sebuah lubang kecil yang tersisa. Jantan menggunakan lubang tersebut untuk memberikan makanan kepada betina dengan cara memuntahkan makanan kepada betina. Sementara betina hanya mengerami telur di pohon tersebut.

Betina mengerami telur di dalam lubang tersebut selama 50 hari. Betina terjaga menjaga sarangnya tetap bersih dengan membuang sisa makanan dan kotorannya.

Setelah 90 hari betina mengerami telur, betina keluar dari sarangnya. Anak-anak Enggang cula kemudian membangun kembali penutup dan menerima makanan dari orang tuanya selama 90 hari ke depan.

Ketika anak Enggang cula sudah tumbuh, mereka akan memecahkan lubang bersarang dan terbang bebas seperti orang tuanya.

Pohon Dipterocarpus setinggi 70 meter (m) biasa Enggang cula jantan pilih sebagai rumah aman bagi betina dan anak-anaknya.

Status dan Keberadaannya di Alam

Dalam perjalanannya Enggang cula berpasangan seumur hidup. Ketika jantan mati saat mencari makan untuk betina dan anak-anaknya di dalam pohon, maka betina dan anak-anaknya juga akan mati.

Perburuan dan hilangnya habitat mengancam populasinya. Perburuannya untuk makanan dan obat-obatan tradisional. Sedangkan berbagai bagian burung, terutama bulu, paruh dan casque, digunakan untuk kostum dan ritual.

Ancaman utama satwa ini antara lain hilangnya habitat hutan hujan, serta perburuan daging, tengkorak dan bulunya. Enggang cula tidak akan menggunakan hutan hujan sekunder. Hal tersebut menekan laju populasi dan distribusi satwa ini di habitat aslinya.

Perusakan habitat telah menyebabkan hilangnya pohon-pohon besar yang Enggang cula butuhkan untuk berkembang biak. Kondisi ini justru yang akan memudahkan pemburu menemukan satwa ini.

Sayangnya, IUCN Red List tidak memberikan jumlah total populasi satwa ini. Saat ini Enggang cula masuk dalam klasifikasi rentan (VU) dan jumlahnya semakin berkurang.

Penulis : A. Zenobia Anwar

Editor : Ari Rikin 

Sumber: www.worldlandtrust.org www.birdlife.org animalia.bio iucnhornbills.org