Populasi kelelawar atau kalong di Indonesia bisa jadi akan terus berkurang seiring perburuan yang tidak mengenal batas. Padahal di alam kelelawar punya peran penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Kelelawar masuk dalam famili Chiroptera yang terbagi ke dalam dua sub ordo yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Sementara itu Kalong kapauk (Pteropus vampyrus) masuk dalam famili Chiroptera, yaitu kelompok mamalia yang kedua kaki depannya berkembang menjadi sayap. Chiroptera juga menjadi mamalia satu-satunya yang memiliki sayap yang bisa mereka gunakan untuk terbang.
Kalong kapauk suka sekali makan buah-buahan. Sehingga memiliki fungsi lingkungan sebagai “petani” yaitu menyebarkan biji secara alami melalui kotorannya.
Untuk reproduksinya seperti mamalia lainnya, yaitu melahirkan. Induk kalong melahirkan seekor anak di sekitar akhir Maret hingga awal April. Pada minggu-minggu pertama saat bayi kalong lahir, induknya akan selalu menggendong dan membawanya terbang kemanapun.
Setelah anaknya besar, saat mencari makan induk akan meninggalkan anaknya pada tenggeran. Anak Kalong bersama induk hanya hingga usia 2-3 bulan. Sementara itu Kalong bisa hidup hingga 15 tahun lamanya.
Ekologi dan Morfologi Kalong kapauk
Kalong Kapauk merupakan hewan yang aktif pada malam hari (nokturnal). Mereka mulai aktif saat matahari tenggelam. Karena tergolong nokturnal tak heran kalong memiliki penglihatan yang baik sekalipun berada dalam kondisi minim cahaya.
Pada siang hari, kalong ini biasa bergerombol dalam tenggeran. Mereka membentuk kelompok besar mencapai 100 individu, di pohon-pohon besar seperti pohon mangrove.
Tampilan Kalong kapauk terbilang besar karena memiliki bentang sayap yang luar biasa lebar bisa mencapai 1,5 meter. Sedangkan kelelawar pemakan buah (Megachiroptera) memiliki ukuran tubuh relatif besar dengan bobot berkisar antara 10-1500 gram.
Menurut buku Jenis-jenis kelelawar Agrofores Sumatera, Kalong kapauk yang memiliki ukuran paling besar berbobot lebih dari 1.500 gram. Bentangan sayapnya mencapai 1.700 mm atau 1,7 m dan panjang lengan bawah atau fore arm (FA) berkisar antara 36-228 mm.
Lalu punggung Kalong kapauk berwarna hitam dengan corak abu-abu, bagian belakang kepala dan lehernya berwarna jingga hingga cokelat. Bagian kepala yang lain dan tubuh bagian bawahnya berwarna cokelat kehitaman. Sementara itu anak kalong ini lahir dengan warna cokelat abu-abu kusam pada seluruh badannya.
Gigi kalong memiliki tiga geraham depan atas tetapi gigi paling depannya sangat kecil dan sering tanggal saat individu tua. Kemudian ciri khas Kalong kapauk ini yang mudah dikenali adalah tidak memiliki ekor. Indera penciuman yang kuat menjadi navigasi terbaik bagi Kalong kapauk.
Persebaran, Peran dan Ancamannya di Alam
Kalong ini dapat kita temukan dari pantai hingga ke pedalaman, sampai ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl). Di Malaysia, kalong ini lebih suka di dataran rendah di bawah ketinggian 350 mdpl.
Mereka pun tersebar di Asia tropis dan subtropis seperti di Asia Tenggara, termasuk salah satunya Indonesia. Bahkan kalong ini tersebar hampir di seluruh pulau di Indonesia. Di samping itu persebarannya juga dapat kita temukan di India, Australia, Samudra Hindia dan Pasifik.
Di alam, kalong memakan nektar dan jenis buah-buahan seperti jambu dan mangga. Oleh sebab itu, ia memiliki fungsi sebagai penyerbuk bagi beberapa jenis pohon pada hutan termasuk pohon durian.
Sayangnya di alam Kalong kapauk ini sering menjadi target para pemburu untuk mereka jual kembali di pasar hewan. Sebagian masyarakat masih ada juga yang memakannya karena percaya dapat mamalia bersayap ini menyembuhkan penyakit pernapasan seperti asma. Meskipun belum ada bukti ilmiah soal hal itu.
Kemudian ada juga masyarakat yang menganggap kelelawar sebagai hama karena memakan buah-buahan dari tanaman budidaya perkebunan, sehingga banyak perburuan kelelawar.
Berdasarkan International Union of Conservation of Nature (IUCN) Kalong kapauk berstatus hampir terancam. Sedangkan status konservasi perdagangannya menurut Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) adalah Appendix II. Artinya masih memiliki kuota perdagangan dengan kuota yang ditentukan.
Penulis :A. Zenobia Anwar
Editor : Ari Rikin
Sumber: Prasetyo PN, Noerfahmy S dan Tata HL. 2011. Jenis-jenis Kelelawar Agroforest Sumatera. Bogor,
Indonesia. World Agroforestry Centre – ICRAF, SEA Regional Office. 75p.