Misteri Katak Terbang dari Sangihe yang Akhirnya Terpecahkan

Misteri Katak Terbang dari Sangihe yang Akhirnya Terpecahkan

Pulau Sangihe, yang terletak di antara Sulawesi dan Filipina, telah lama menjadi teka-teki dalam dunia herpetologi. Di pulau kecil ini, hidup seekor katak-terbang misterius dari genus Rhacophorus yang pertama kali dijelaskan oleh Wolf pada tahun 1936 sebagai Rhacophorus pardalis rhyssocephalus.
Namun, satu-satunya spesimen yang menjadi dasar penamaan tersebut musnah dalam pengeboman Dresden tahun 1945. Sejak saat itu, status taksonomi katak ini dibiarkan menggantung tanpa klarifikasi lanjutan. Mengingat pentingnya Sangihe sebagai lokasi dengan tingkat endemisme tinggi dan biogeografi yang unik, para peneliti melakukan upaya terbaru untuk meninjau ulang status spesies ini secara menyeluruh.

Ditemukan pada Ketinggian Dua Meter
Penelitian dilakukan di Gunung Sahendaruman, satu-satunya kawasan hutan tersisa di Pulau Sangihe. Dua individu katak ditemukan pada malam hari yang lembap di area agroforestri, sekitar 2 meter di atas permukaan tanah, jauh dari aliran sungai terdekat. Habitat ini juga dihuni oleh spesies lain seperti R. edentulus dan Limnonectes sp.
Para peneliti menggabungkan pendekatan molekuler dan morfometrik untuk menguji hipotesis bahwa populasi katak dari Sangihe berbeda secara taksonomi dari R. pardalis Kalimantan. Sampel jaringan hati dikoleksi, diawetkan, dan dianalisis menggunakan tiga marker gen mitokondria. Sementara itu, karakter morfologi diukur dari 82 individu yang terdiri dari enam spesies Rhacophorus di Asia Tenggara. Analisis statistik dilakukan untuk mengungkap perbedaan signifikan antarspesies.

Perbedaan Tubuh yang Mencolok
Analisis filogenetik menunjukkan bahwa katak dari Sangihe tidak berkerabat dekat dengan R. pardalis dari Kalimantan. Jarak genetik keduanya mencapai 16,2–16,4%, menunjukkan tingkat divergensi yang setara atau lebih tinggi dibanding antarspesies lainnya. Sebaliknya, katak Sangihe hanya berjarak genetik 3,5% dari R. georgii, spesies endemik Sulawesi. Dalam pohon filogenetik, katak Sangihe muncul sebagai kelompok tersendiri dalam klad Rhacophorus Sulawesi, bukan dalam klad yang dihuni R. pardalis Kalimantan.

Hasil morfometrik menunjukkan bahwa R. p. rhyssocephalus berbeda secara signifikan dari R. pardalis, serta dari spesies Sulawesi lainnya seperti R. monticola, R. edentulus, dan R. boeadii. Beberapa karakter tubuh yang menunjukkan perbedaan nyata termasuk diameter mata (ED), jarak internarial (IND), panjang tuberkel palmar dan metatarsal (IPTl dan IMT), serta panjang jari dan jari kaki tertentu. Bahkan dibandingkan dengan R. georgii, yang secara genetik paling dekat, spesimen dari Sangihe tetap menunjukkan perbedaan morfologi yang signifikan.

Ciri morfologi paling mencolok dari katak Sangihe ini adalah adanya tonjolan tulang berbentuk U yang menonjol di atas kepala. Satu tonjolan berada di atas masing-masing timpani, dan satu lagi membentang di antara kedua orbit mata, menyatu di bagian parietal. Struktur khas ini tidak ditemukan pada R. pardalis, R. georgii, maupun spesies Rhacophorus lainnya.

Ciri lain yang mendukung status uniknya meliputi tubuh besar (SVL betina dewasa mencapai 86,7 mm), cakram jari yang besar dan lebih lebar dari diameter timpani, serta selaput di jari dan kaki yang hampir penuh. Warna tubuhnya coklat sedang dengan bintik kuning dan hitam, serta lipatan kulit lateral berwarna kuning cerah.

Gabungan data molekuler dan morfologis ini membuktikan bahwa populasi katak-terbang dari Sangihe merupakan spesies tersendiri. Oleh karena itu, para peneliti secara resmi menaikkan status taksonomi Rhacophorus pardalis rhyssocephalus menjadi Rhacophorus rhyssocephalus, dengan neotipe baru ditetapkan dari Gunung Sahendaruman.

Peluang Penelitian di Masa Mendatang
Penemuan dan validasi kembali Rhacophorus rhyssocephalus menandai langkah penting dalam memahami keanekaragaman herpetofauna di kawasan Wallacea. Studi ini menunjukkan bahwa masih banyak potensi spesies baru dan endemik di pulau-pulau kecil Indonesia yang belum terungkap. Klarifikasi taksonomi ini juga menjadi dasar penting untuk upaya konservasi spesies yang sangat terbatas sebarannya dan berisiko tinggi terhadap gangguan habitat.

Sumber Informasi dan Foto:
Herlamabang, A. E. N., Sabinhaliduna, E., Trilaksono, W., Anita, S., Riyanto, A., Hamidy, A., Krone, I., Amini, S., Méndez, M. J. N., Herr, M., & McGuire, J. A. (2025). Taxonomic Reassessment of an Enigmatic Flying Frog (Amphibia: Rhacophoridae) from Sangihe Island, Indonesia. Zootaxa, 5636(1), 121–143. https://doi.org/10.11646/zootaxa.5636.1.5

Glosarium: 

  • Morfometrik adalah analisa bentuk danatau ukuran suatu objek untuk mengetahui variasi spesies dalam biologi.
  • Palmar adalah isi depan (anterior) kaki depan, atau bagian telapak tangan pada hewan.
  • Metatarsal bagian tulang yang terletak di antara tulang-tulang pergelangan kaki (tarsal) di bagian belakang kaki dan tulang-tulang jari kaki (falang) di bagian depan kaki.

Penulis dan penyunting : Hani