Jakarta (Animalium.id) – Seiring meningkatnya permintaan produk hiu di pasaran, para nelayan menjadikan hiu sebagai tangkapan utamanya. Ironisnya, sejak tahun 1990an terjadi penurunan populasi hiu secara global. Bahkan populasi beberapa jenis hiu yang bernilai ekonomis tinggi juga bernasib sama karena mengalami overeksploitasi pada habitatnya.
Masyarakat Indonesia sudah sejak berabad-abad silam memanfaatkan ikan hiu. Sebelum tahun 1940an masyarakat pesisir di Indonesia menangkap hiu hanya untuk konsumsi lokal saja.
Kemudian pada tahun 1970 perdagangan sirip hiu di Indonesia mulai terjadi. Seiring dengan semakin meningkatnya permintaan produk hiu di pasaran, nelayan pun berubah haluan. Hiu menjadi primadona buruan karena harga jualnya menggiurkan.
Indonesia pun menjadi salah satu negara di Asia yang menghasilkan produk dari ikan hiu terbesar di dunia. Volume pertahunnya mencapai 1.000 ton dan berhasil menyumbang devisa negara yang besar.
Ikan hiu memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Hampir seluruh bagian tubuhnya dapat dimanfaatkan, antara lain bagian daging, tulang, kulit, dan siripnya.
Mengutip sejumlah sumber, perputaran usaha sirip hiu ini sebagian besar bukan untuk konsumsi lokal masyarakat. Melainkan untuk komoditas ekspor ke sejumlah negara seperti Hong Kong, China, dan Taiwan.
Sementara bagian lain dari ikan hiu seperti daging dan kulitnya sebagian besar dimanfaatkan pasar domestik untuk bahan makanan seperti bakso, sup ikan hiu, kerupuk dan lainnya.
Hiu Masuk Kategori Terancam Punah
Karena posisinya terancam punah, the Convention on International Trade of Endangered Species (CITES) mengatur perdagangan hiu. Selain itu, National Plan of Action (NPOA) juga mengatur pengelolaan perikanan hiu bagi setiap negara pemanfaat komoditas hiu.
Beberapa jenis hiu bernilai ekonomis yang banyak pasar internasional perdagangkan telah masuk dalam kategori apendiks II, di antaranya Hiu lanjaman (Carcharhinus falciformis), hiu tikus/monyet (Alopias spp), hiu martil halus (Sphyrna zygaena), hiu martil besar (Sphyrna mokarran), hiu koboi (Carcharinus longimanus), hiu martil (Sphyrna lewini).
Apendiks II di CITES merupakan kategori hewan yang akan terancam punah apabila perdaganganya tidak diatur. Tahun 2021 sepertiga dari total spesies yang global perdagangkan telah masuk dalam kategori terancam punah di International Union for the Conservation of Nature (IUCN).
Hingga saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya melindungi hiu paus dari perdagangan dan penangkapan di Indonesia. Sementara itu, larangan ekspor ke luar negeri hanya diberlakukan bagi hiu martil dan hiu koboi.
Aturan Perdagangan Hiu Koboi dan Hiu Martil
Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Larangan Pengeluaran ikan hiu koboi (Carcharhinus longimanus) dan hiu martil (Sphyrna spp) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia.
Regulasi ini pertama kali pemerintah keluarkan tahun 2014 dan terus mengalami pembaruan. Hal ini berawal dari masuknya ikan hiu koboi dan hiu martil ke dalam daftar apendiks II CITES pada konferensi ke-16 di Bangkok.
Selain itu, pemerintah juga berupaya menekan perdagangan sirip hiu di Indonesia. Caranya dengan memberlakukan sistem kuota pembatasan jumlah tangkapan spesies hiu yang masuk ke dalam kategori apendiks II CITES.
Tak hanya itu, perdagangan dan peredaran hiu tersebut di Indonesia maupun keluar negeri perlu mengantongi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Surat Izin Pemanfaatan Jenis Ikan (SIPJI) dan Surat Angkut Jenis Ikan (SAJI) untuk mengatur pengangkutan/distribusinya.
Sementara itu untuk penangkapan hiu yang tidak masuk ke dalam apendiks II CITES, pelaku usaha perdagangan hiu wajib memiliki surat izin/jalan yang telah tim lapangan dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) verifikasi.
Penulis : Anisa Putri S
Editor : Ari Rikin
Sumber : Berbagai Sumber